Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Senin, 16 November 2009

Ketika Cinta Harus Memilih

Debur ombak pantai Anyer malam itu menderu seperti hatiku. Hatiku pilu dan gelisah. Kau katakan bahwa hatimu telah berpaling, membuat jiwaku terkoyak. Retak, Hancur bertaburan. Kutanyakan kembali padamu, tentang hubungan ini, apakah berakhir atau akan kita teruskan. Kamu tak bisa menjawab. Hanya berkata bahwa kamu masih mencintaiku, tapi hatimu juga mencintainya.

Kamu menduakan aku. Dan kamu egois. Namun tak sanggup aku berkata, hati ini terlalu mencintaimu. Hati ini terlalu rapuh untuk kau tinggalkan.

Gila kah aku? Mungkin sebagian orang mengatakan itu. Tapi aku yakin, dan akan kubuktikan padamu bahwa cintaku ini suci dari dalam hatiku. Aku mencintaimu setulus hati. Aku akan selalu berharap kamu ada untukku seutuhnya. Entah kapan.

Hari-hari kulewati dengan hampa, tak ada lagi harapan untukmu. Sejak kau mengatakan hatimu berpaling, aku berusaha menerima. Aku hanya ingin kamu sadar. Bahwa ada hati yang selalu menunggumu. Hati yang hampa yang selalu melewati hari dengan kerinduan.

Tiba-tiba, kamu datang menemuiku. “Aku kangen” katamu. Bagaimana kamu bisa mengatakan itu? Sedangkan separoh hatimu untuknya? Aku diam membisu, kemudian aku berkata “Simpan kangen mu sampai suatu saat nanti kamu menyadari cintaku.”

“Heh..?” jawabmu

“Iya, simpan kangenmu. Hatimu sudah bukan milikku seutuhnya. Cobalah pelahan-lahan kamu hilangkan perasaan mu padaku”

“Bukannya kamu bilang akan selalu mencintaiku? Tanyamu

“Iya. Tapi bukan untuk egoismu” jawabku lembut.

“Jadi?”

“Jadi, lupakan aku dan pergilah bersamanya” kataku.

Hatiku lega bisa mengatakan itu, walau nantinya harus aku rekatkan kembali dengan lem-lem kerinduan.

“Saraswati, maafkan aku. Aku mencintaimu karena kamu tulus mencintaiku. Tapi hati ini tidak bisa dibohongi, aku mencintai dia juga….” kamu menangis. Selemah itukah kamu? Sakitkah hatimu? Aku yakin tidak, kenapa kamu menangis, bukannya seharusnya aku yang menangis karena kau duakan?

“Ardan, aku mencintaimu dan aku ingin kamu bahagia. Jangan jadi laki-laki lemah, kamu harus bisa memilih. Saat hatimu terbelah dua, pilihlah salah satunya, dan berusahalah untuk menyatukannya dan mempersembahkan hati yang utuh pada orang yang kau cinta”

Aku berlalu dengan kemenangan. Ardan duduk terdiam. Bisu.

Sejak itu, aku berusaha untuk tidak menghubungimu. Setiap hari kamu datang, untuk meminta maaf. Namun semua sudah aku maafkan, cintaku ini terlalu besar untukmu. Sampai-sampai aku rela untuk kau sakiti. Tapi, aku bangga menjadi orang yang menang.

Hari berganti, bulan berganti bulan. Tak terasa 2 tahun sudah aku tak menemuimu. Aku mulai hidup baru, melupakan semua kenangan indah, dan harapan dan juga sakit hati. Aku dengar kamu sudah menikah dengan cintamu. Aku bahagia.

Sampai pada suatu sore, tanpa sengaja kita bertemu. Wajah tampanmu tak akan pernah aku lupakan. Pertemuan itu cukup mengejutkanmu, dan juga aku.

“Saraswati?”

“Iya, hmmm Ardan?”

“Iya, kok kamu ada disini?”

“Hmm… aku meninggalkan kota kita, dan mencari sesuap nasi disini, dan kamu?”

“Aku, aku juga mencari sesuap nasi disini, apakabar Saras? kamu tambah cantik”

“Alhamdulillah baik, terima kasih”

“Mmmm.. suamimu?”

“Aku masih single. Belum menemukan jodoh yang tepat. Mungkin tahun depan”, kataku

“Ooo.. ” wajahmu terlihat berbinar.

“Mana istrimu? tanyaku.

“Dia sekolah ke luar negeri, beasiswa” jawabmu

“Wah, bagus, dimana?”

“Di Australia”

Demikianlah percakapan kita dan terus berlanjut. Sampai akhirnya aku berinisiatif untuk mengakhirinya.

“Aku pulang dulu, sudah malam”

“Hmmm jangan dulu Saras…”

“Maaf..”, kataku, dan aku pun berlalu.

Sejak itu kamu sering menghubungiku. Mencari kesempatan untuk bertemu. Dan kamu bercerita bahwa antara kamu dan istrimu sedang dalam proses perceraian. Kamu merasa kamu tidak cocok dengannya. Kamu menyadari bahwa kamu selalu membandingkan dia dengan aku. Kamu mengakui kalau kamu masih mencintaiku.

“Maaf Ardan, semua sudah menjadi pilihanmu”

“Tapi bukan aku yang memilih, itu kemauanmu”

“Iya, kemauanku. Aku tak mau kamu duakan. Dan tidak ada satupun wanita yang mau kamu duakan”

Aku berlalu dan berkata “Maafkan aku. Aku tidak lagi mencintaimu. Aku memilih untuk menguburnya”

Setelah itu, aku pindah ke kota lain dan kembali memulai hidup baruku.

Jauh di kota kami, kota ku dan Ardan, tampak seorang laki-laki duduk terdiam menyesali kisah masa lalunya. Menyesali bahwa dia sangat egois dan melepaskan cinta sejatinya.

Ketika Cinta Harus Memilih.

0 komentar:

Posting Komentar